Sui dan Ibukota
Di banyak malam di dua tahun terakhir, kepala ini macem ibukota.
Pikiran-pikiran di kepala macem kendaraan-kendaraan – berlalu lalang, macet,
klakson sana-sini, dan tak jarang, bertabrakan. Dan, juga seperti ibukota: ini
bukan hal yang baru!
Pastinya ada lebih dari sedikitnya lima juta orang di luar
sana yang juga punya kepala sepadat ibukota – atau bahkan lebih – yang membuat sebuah kalimat terlintas berkali-kali: kalo aja kehidupan adalah makhluk hidup, pasti bakal gue bully abis-abisan. Antara marah dan menyerah, entah mana yang lebih besar.
Sampai, pada suatu malam, masih di ibukota, sebuah
percakapan antara dua orang anak berumur 8 tahun tiba-tiba tersajikan di
kepala. Dua anak itu adalah aku, dan (sebut saja) Sui. Sui pernah cerita kalo
bapaknya keras dan suka mukul karena hal sepele, kalo kedua orangtuanya sering
berantem, dan kalo ibunya sering menangis. Suatu hari Sui yang malang bercerita
sambil sedikit-sedikit ngeluarin air mata, bahwa kalo dia baca buku, dia perlu
berkali-kali membaca ulang sebelum bener-bener paham isinya apa, bahwa
kepalanya berisi segala macam hal awut-awutan dan pikirannya jadi terbagi-bagi.
Aku yang dulu polos (dan sedikit bego) bicara dalam hati: maksudnya apaan ya…
emang bisa ya pikiran kebagi-bagi… emang bisa ya baca buku tapi ga ngerti apa
maksudnya… kan baca ya cuma baca… mikir ya cuma mikir... Sui boleh jadi merhatiin papan tulis, tapi dia butuh kerja dua kali lipat lebih besar dari pada banyak anak umumnya buat mengerti apa yang ditulis disana dan bukannya mikirin ibunya yang semalam dilempar kursi sama bapaknya. Nggak bisa benar-benar berempati, aku cuma bisa bilang dua patah
kata yang nggak pernah benar-benar bisa menyembuhkan seseorang dari derita: “sabar
ya.”
Lebih dari sepuluh tahun kemudian, ketika akhirnya mengerti
bahwa sesuatu bisa menjadi begitu buruknya dan begitu berdampaknya bagi yang
mengalami, walaupun bukan lewat pertengkaran orangtua atau bapak yang abusif, yang tiba-tiba muncul di kepala adalah cerita seorang 8 tahun Sui di
depan kelas waktu jam istirahat.
Cerita Sui cuma satu dari banyak cerita yang suka tiba-tiba
muncul di kepalaku, menghantamku, kadang berkali-kali, mengingatkanku betapa
aku ini sebetulnya luar biasa layak untuk lebih dari bersyukur. Tapi..... (insert any possible excuses here) .....
***
Di ulang tahun ibu yang ke 36, aku nanya ibu mau kado apa,
aku mau kasih ibu kado asal jangan mahal-mahal. Ibu bilang ibu mau dibeliin
eskrim, tapi mau makannya sendiri, ga diminta anak-anak. Sederhana. Dan, walaupun pada akhirnya eskrim yang dibeli oleh uang tabunganku itu dikeroyok rame-rame, ibu berterima kasih. Untungnya, setidaknya, gen pandai bersyukur masih ada dalam darah.
Comments
Post a Comment