Sepenggal Cerita dari 2016
Di sebuah kafe di daerah Padjajaran Bogor, bersama dua orang
kolega, duduk di depan laptop sambil berharap inspirasi datang, sesekali
nyeruput kopi, ukuleleku tidur anteng di kursi sebelahku, kupetik-petik sesekali
kalau inspirasi tak juga datang. Kalau tak juga datang, dua kolegaku itu kuajak
bicara sampai… “lanjut kerja lanjut kerja!” Lalu siklus yang sama terulang. Ini
kejadian dua koma lima tahun lalu, kurang lebih.
Dari pintu kafe itu, tiba-tiba datang seorang perempuan,
sebut saja Tia, yang ternyata teman dari dua kolegaku itu. Mereka langsung
bercakap-cakap. Dulu aku punya temen namanya Tia, wajahnya mirip banget sama
Tia yang ini, tapi aku diem aja. Tia beberapa kali ngajak ngobrol aku juga, mungkin
nggak enak kalo ngacangin. Sampai… begitu suasana udah nyair, dia nyeletuk, “lo
mirip temen kursus Bahasa Inggris gue deh, namanya Silmi”
“Lah nama dia emang Silmi"
“Iya, gue Silmi,” timpalku. “Lo juga mirip sama temen gue
namanya Tia”
“Iya kan gue Tia!”
“Iya tapi temen gue itu namanya Tia Jessica”
“Lah gue Tia Jessica!”
Kemudian momen kaya-di-mimpi-deh itu tersajikan di depan
mata, kemudian banyak “hahhhh?” dan “demi apaaa?!”. Sisa perjumpaan di kafe itu
jadinya penuh tawa-tiwi.
Tulisan ini dibuat karena kejadian ini tiba-tiba terlintas
di kepala. Dan aku udah kangen nulis di website penuh debu ini.
Karena setiap cerita mesti punya nilai moral, mungkin moral
dari cerita ini adalah bahwa terkadang orang dari masa lalu, atau orang yang
hampir terlupakan, itu sebetulnya selalu dekat. Dan bahwa, kadang pubertas
bikin pangling!
Comments
Post a Comment