Takaran Kehadiran
Highlight dari tahun 2017 buat seorang Silmi mungkin adalah
sebuah kata “mengenal”. Nggak cuman mengenal perasaan-perasaan yang baru kutau ada, tapi juga mengenal perasaan-perasaan lama lebih dalam. Nggak
cuman mengenal negara-negara baru dengan suhu udara dan bahasa yang baru, tapi
juga orang-orang yang berdiam dibawahnya.
Perjalanan yang katanya disebut kehidupan ini kadang
bosenin. Tapi terus pada suatu hari dipertemukan dengan Pablo dari Alaska, yang
keliatannya lebih pantes jadi kakek gue ketimbang temen sekelas, yang sambil menyesap anggur Merlot beberapa kali bilang “life is boring”, dan masih bisa ketawa-ketiwi dan sama sekali
nggak kelihatan kebosanan. Pablo Si Sesuka Hati, ekonom yang senang
pindah-pindah (dan seringkali mengingatkan (lagi-lagi) akan kata “Fernweh”), yang
pada akhirnya lebih memilih jadi guru Bahasa Inggris yang gajinya nggak
segimana besar – tanpa sedikitpun menyesali apapun yang dia pernah buat. Hidup itu memang
pada hakikatnya begitu-begitu saja, sudah seharusnya diterima, meski berkali-kali
gagal memberi warna.
Terlebih di tahun 2017, dimana setengahnya dihabiskan jauh
dari orang-orang yang buatku familiar, perjalanan yang katanya disebut
kehidupan ini kadang bikin merasa sendiri, kesepian, bingung, seakan aku pake seragam
olahraga dan seisi dunia pake seragam pramuka. Tapi terus dipertemukan dengan
Illiana, perempuan Hungaria yang sekilas lebih mirip model iklan sabun daripada
sarjana bisnis internasional yang bingung mau ngapain sama hidupnya. Pada suatu kesempatan,
kita cuma ketawa-ketawa sambil geleng-geleng kepala, berulang kali bilang “this
can’t be true, can it?” karena kita menemukan terlalu banyak kesamaan dalam
percakapan yang durasinya kurang dari ¼ jam. Ternyata, ada juga yang pake
seragam olahraga selain aku.
Ada juga Zizi, seorang Kazakhstan yang meski bajunya lebih
sering seksi daripada sopan, selalu jadi pengingat sholat dan teman diskusi soal
agama. Atau Abdul, kimiawan Persia yang pernah hampir ke seluruh bagian di dunia,
dan menolak untuk berpuasa bahkan di bulan ramadhan dengan alasan nggak mau.
Yang lain, misalnya, nenek-nenek yang sengaja dikirim
semesta ke kursi sebelahku di perjalanan naik bis berjam-jam, yang berujung jadi temen ngobrol, yang bicara soal seni menghilangkan stres lewat menyulam. Atau, orang-orang asing yang awalnya keliatannya sombong dan bosenin, yang malah
ujungnya, against the odds, jadi
teman-teman terdekat. Atau, sekedar dia yang kalo ngomong lucu, sehingga jam-jam di kelas rasanya jadi sedikit lebih tidak membosankan.
Dari banyak, mungkin cuma satu atau dua yang namanya bakal
selalu nempel di kepala, yang namanya terus ada di kontak hp, email,
atau WhatsApp, dalam waktu yang lama. Dan sisanya hadir cuma satu atau dua hari,
atau bahkan beberapa menit, tapi tetap punya pengaruh yang besar dalam
pengambilan banyak keputusan-keputusan atau cara pikirku kedepannya – semacam
teori Efek Kupu-Kupu, small causes can
have larger effecst, bahwa kepakan satu ekor kupu-kupu bisa menyebabkan tornado
beberapa minggu kemudian – dan semacam, bagian-bagian kecil di hidup seseorang,
yang keberadaannya aja hampir terlupa, mendukung terjadinya hal-hal besar di
kemudian hari.
Pada akhirnya, sekecil dan sebesar apapun hal yang terjadi
di sebuah kehidupan, semua hadir dengan takaran yang cukup, yang saling
mendukung berdirinya satu sama lain, yang kemudian membuahkan kehidupan itu
sendiri (berasa dosen filsafat aja bok). Intinya, everything happens for a reason, even the smallest things!
Jadi pengen ngutip kata Dewi Lestari di cerpennya yang
berjudul “Mencari Herman”: bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua.
Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan.
Comments
Post a Comment